Dakwah Islamiah : Ridha dan Qana’ah Terhadap Ketetapan Allah

Sesungguhnya wajib bagi kita untuk mempelajari ilmu agama ini. Dan kita telah mengetahui bersama bahwa tidaklah ilmu itu dicari melainkan untuk diamalkan, karena amal merupakan konsekuensi dari ilmu. Dan kita telah ketahui pula bahwa amalan itu tidaklah sah kecuali jika dibangun di atas dua pondasi, dan suatu amalan dikatakan amalan yang shalih jika amalan tersebut dibangun di atas dua pondasi, yaitu:

Pertama adalah Ikhlas kepada Allah, betul-betul dia mengharapkan balasan dari Allah subhanahu wata’ala.
kedua adalah Mutaba’ah sesuai dengan apa yang telah disyari’atkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, harus mengikuti Rasulullah dan cocok dengan syari’at beliau di dalam pelaksanaan amalan tersebut.

Apabila amalan itu tidak sah, maka tidak akan diterima oleh Allah subhanahu wata’ala, walaupun amalan tersebut banyak dan pelakunya capek/lelah dalam mengamalkannya.

Dua pondasi tersebut merupakan penentu sahnya suatu amalan. Dan ini menuntut dan wajib bagi kita untuk mempelajari ilmu. Dan sekali lagi, tidaklah ilmu itu dituntut melainkan untuk diamalkan.

Pentingnya kita untuk mengawasi amalan karena banyak para ulama membicarakan tentang amalan ini dan juga faktor-faktor yang membatalkannya.

Dalam kesempatan kali ini kami akan membicarakan tentang suatu masalah dan ini merupakan salah satu dari rukun iman, yaitu masalah iman kepada takdir, baik itu takdir yang baik ataupun takdir yang jelek. Ketika seorang itu beramal, maka dia diberi ujian-ujian dari amalannya tersebut, apakah dia istiqamah di dalam amalannya itu sehingga amalan tersebut mendorong si pelakunya untuk mengoreksi apakah amalan tersebut diterima atau tidak. Dan ujian tersebut adalah sesuatu yang ditakdirkan oleh Allah subhanahu wata’ala, dan kita harus mengimaninya bahwa itu semuanya ditakdirkan oleh Allah ‘azza wajalla. Kebaikan yang ada pada diri kita itu telah ditakdirkan oleh Allah, begitu juga kejelekan yang ada pada diri kita, juga ditakdirkan oleh Allah. Masalah iman kepada takdir ini penting peranannya dalam kehidupan seorang mukmin dan menjadi penentu keimanan seseorang.

Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendidik anak pamannya yaitu ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Beliau diajari oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan beberapa nasehat, di antara nasehat yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sampaikan kepadanya -dan pada waktu itu beliau masih kecil- adalah berkenaan dengan takdir. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Ketahuilah, kalau seandainya umat ini bersatu/berkumpul untuk memberikan manfaat kepadamu niscaya umat tidak akan mampu memberikan manfaat kepadamu, kecuali apa yang telah ditakdirkan oleh Allah untukmu. Kalau seandainya umat itu semuanya berupaya untuk memberikan kejelekan kepadamu maka niscaya mereka tidak mampu untuk memberikan kejelekan kepadamu, kecuali apa yang telah ditakdirkan oleh Allah untukmu. Telah diangkat pena dan telah kering lembaran-lembaran catatan takdir (tidak akan terjadi perubahan).” (HR. At-Tirmidzi dari shahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas)

Semuanya ditakdirkan oleh Allah subhanahu wata’ala, oleh karena itu kita meyakini bahwasanya kebaikan dan kejelekan semuanya telah ditakdirkan oleh Allah subhanahu wata’ala. Maka janganlah sombong ketika kalian mendapatkan kebaikan, bersyukurlah kepada Allah. Dan janganlah bersedih ketika sesuatu yang tidak kalian sukai menimpa pada diri kalian. Jangan bersedih, mendekatlah kepada Allah, bersabarlah atas kesulitan dan kekurangan yang menimpa diri kalian. Inilah nasehat Rasulullah kepada sepupunya tersebut, dididik sejak kecil tentang masalah takdir karena ini penting peranannya. Demikian juga dengan shahabat-shahabat yang lainnya. Sampai-sampai ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma menyatakan tentang orang-orang yang mengingkari takdir, beliau mengatakan:

“Demi Dzat yang ‘Abdullah bin ‘Umar bersumpah dengan-Nya, kalau seandainya para pengingkar takdir tersebut memiliki emas sebesar gunung Uhud, kemudian emas tersebut diinfakkan di jalan Allah, maka Allah tidak akan menerima infak orang tersebut sampai dia beriman kepada takdir.” (HR. Muslim)

Karena mereka tidak mengimani salah satu dari enam rukun iman, maka mereka telah kafir, dan Allah subhanahu wata’ala tidaklah menerima amalan kecuali dari orang yang bertaqwa. Kemudian ‘Abdullah bin ‘Umar membawakan sebuah hadits yang dikenal dengan hadits Jibril:

“Iman itu ialah engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari kiamat, dan engkau beriman kepada takdir yang baik dan takdir yang buruk.” (Muttafaqun ‘Alaihi)

Segala sesuatu yang menimpa diri kita -baik maupun buruk- semuanya merupakan takdir dari Allah subhanahu wata’ala.

Kaum muslimin yang semoga dirahmati oleh Allah ‘azza wajalla.

Demikianlah Salafuna Ash-Shalih menasehatkan tentang masalah takdir ini. Begitu pentingnya sampai-sampai shahabat ‘Ubadah bin Ash-Shamit menasehati anaknya yang bernama Al-Walid:

“Wahai anakku, kamu tidaklah merasakan manisnya iman sampai kamu meyakini apa yang telah Allah takdirkan (tetapkan) kepadamu (yang baik atau yang buruk), pasti tidak akan meleset darimu. Dan apa saja yang tidak ditakdirkan menimpamu maka tidak akan menimpa pada dirimu.” (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi)

Kita meyakini bahwa iman itu memiliki rasa, iman itu lezat dan manis. Barangsiapa yang merasakan lezatnya iman, maka ia akan terhibur dengan iman tersebut dan tidak terlena dengan dunia dan apa yang ada di dalamnya. Musibah sebesar apa pun yang menimpanya, maka dia tenang dengan iman yang ada pada dirinya, dia yakin bahwa itu semua telah ditakdirkan oleh Allah subhanahu wata’ala dan Allah telah menentukan hikmah-Nya dalam takdir-Nya tersebut, dia yakin bahwa Allah tidaklah berbuat zhalim kepadanya. Orang yang beriman dan merasakan lezatnya iman itu tidak akan terlena dengan kesenangan duniawai. Kalau seandainya digambarkan pada makanan yang ada di sekitar kita, misalkan di sisi kita ada daging kambing yang diolah dengan lezat, kemudian di samping kita ada kerupuk yang layu dan basi. Maka orang yang merasakan lezatnya daging kambing ini, dia tidak akan menoleh kepada kerupuk yang layu dan basi tadi. Begitu pula orang yang merasakan manisnya iman, maka dia tidak akan tertipu dengan gemerlapnya dunia yang pada hakekatnya adalah sesuatu yang rendah, hina, dan tiada harganya seperti kerupuk yang sudah basi dan layu tadi, bahkan lebih rendah dari itu.

Kita lihat kepada para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang mereka telah merasakan lezatnya iman, kebanyakan dari mereka miskin, kenapa? Karena dunia ini tidak bisa dibandingkan dengan lezatnya iman yang ada di dalam hati mereka, sehingga ketika mereka ditimpa musibah, tidak goyah imannya. Itulah para shahabat, demikian pula generasi yang mengikuti jejak mereka.

Inilah nasehat seorang ayah kepada anaknya, dididiklah anak tersebut tentang masalah takdir. Supaya ketika dia sedang menjalani suatu amalan di dalam agamanya, kemudian dia mendapatkan musibah-musibah, maka ketika itu dia ingat bahwa musibah tersebut telah ditakdirkan oleh Allah subhanahu wata’ala. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan:

“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya (dihapuskan dosa-dosanya) maka akan disegerakan adzabnya di dunia.” (HR. At-Tirmidzi dari shahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)

Artinya dia akan mendapatkan musibah-musibah di dunia ini, dan itu akan menghapus dosa yang telah dia lakukan.

Dan terkadang musibah itu memiliki manfaat.

“Tidaklah suatu musibah itu menimpa pada diri seseorang melaiankan dengan izin Allah (yaitu dengan takdir Allah).” (At-Taghabun: 11)

Barangsiapa yang beriman kepada Allah subhanahu wata’ala (bahwasanya musibah itu telah ditakdirkan oleh Allah), maka Allah akan membimbing hatinya untuk sabar dan ridha terhadap musibah tersebut. Ketika dirinya ditimpa musibah (kesulitan, sakit, kehilangan harta, saudara, orang tua, atau kehilangan anak), dia yakin bahwa ini semua merupakan takdir dari Allah ‘azza wajalla, maka Allah akan membimbing hatinya untuk sabar dan menerima musibah tersebut. Untuk mendapatkan itu semua tentu dengan beriman kepada takdir.

Kita hidup di dunia ini senantiasa diuji oleh Allah, semakin kuat iman kita, maka akan semakin besar ujian yang akan kita hadapi. Oleh karena itu, hendaklah kita memiliki keyakinan kepada Allah ‘azza wajalla, mengimani tentang takdir Allah, karena itulah yang akan membimbing kita kepada jalan-Nya, dan itu pulalah yang akan menjadikan hati kita ini ridha terhadap apa-apa yang telah ditetapkan oleh Allah subhanahu wata’ala.

Sesungguhnya kehidupan yang baik itu terletak pada sikap ridha dan qana’ah. Ridha terhadap musibah-musibah dan kekurangan-kekurangan yang ada pada dirinya, serta qana’ah, yaitu tidak menuntut sesuatu yang lebih dari apa yang telah Allah berikan kepadanya, serta menerima dan pasrah terhadap pemberian Allah subhanahu wata’ala. Suatu nikmat yang besar jika seseorang memiliki sifat ridha dan qana’ah ini. Harta yang banyak tetapi kalau dia tidak memiliki sifat qana’ah, dia akan capek, mencari dan mencari, sehingga dia menjadi budak dari harta. Tetapi orang yang qana’ah, dia menerima terhadap apa yang telah Allah subhanahu wata’ala berikan pada dirinya dengan pasrah dan ridha, maka akan tenanglah hidup orang tersebut.

Oleh karena itu, kita butuh untuk mendekatkan diri kepada Allah, baik dengan berdo’a, atau melakukan ibadah-ibadah lain yang telah disyari’atkan oleh-Nya, sehingga kita terbimbing kepada jalan-Nya yang lurus....amin.
Laahaula Wala Quwwata illa Billahhil 'aliyil adzim.

Danos tu comentario

follow me