nikah sambil kuliah

Pernikahan merupakan institusi agung untuk mengikat dua insan lawan jenis dalam satu ikatan keluarga. Al Qur'an mengistilahkan ikatan pernikahan dengan mistaqan ghalizhan, artinya perjanjian kokoh/agung yang diikat dengan sumpah.

Al Qur'an menggunakan istilah mitsaqan ghalizhan minimal dalam tiga konteks. Pertama, konteks ikatan pernikahan seperti disebutkan dalam Q.S. An-Nisa 4:21. Kedua, konteks perjanjian Allah swt. dengan Bani Israil (Q.S. An-Nisa 4:154). Ketiga, konteks perjanjian Allah swt. dengan para Nabi-Nya bahwa mereka akan menyampaikan ajaran agama kepada umatnya masing-masing (Q.S. Al Ahzab 33:7).

Menganalisis konteks mistaqan ghalizhan yang digunakan Al Qur'an, bisa ditarik benang merah bahwa ikatan pernikahan itu nilai keagungannya sekaliber perjanjian antara Allah swt dengan Bani Israil dan selevel dengan perjanjian antara Allah swt. dengan para Nabi-Nya.

Jadi, cukup logis kalau pernikahan itu dinilai bukan sekedar tali pengikat untuk menyalurkan kebutuhan biologis (ticket hubungan sexual yang sah), tetapi juga harus menjadi media aktualisasi ketaqwaan. Karena itu, untuk memasuki jenjang pernikahan dibutuhkan persiapan-persiapan yang matang; kematangan fisik, psikis, maupun spritual.

Persipan matang itu diperlukan karena begitu terjadi ikatan pernikahan, maka akan lahir hak dan kewajiban suami-isteri. Hak dan kewajiban ini orientasi dominannya tidak hanya sekedar pemenuhan kebutuhan biologis, tapi justru yang paling dominan adalah orientasi pada aktualisasi ketakwaan.

Akhir-akhir ini mengemuka fenomena mahasiswa yang menjalankan pernikahan lebih dini dengan niat untuk menghindarkan diri dari perbuatan dosa. Cara ini diyakini sebagai jalan keluar terbaik untuk menghindarkan diri dari gaya hidup sex bebas (free sex).

Sesungguhnya, bila ditinjau dari segi niat (menjauhi zina), hal itu sudah sesuai dengan ajaran Islam, sebagaimana firman-Nya, “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu merupakan perbuatan yang keji ...” (Q.S. Al-Isra 17:32). Masalahnya, apakah pernikahan yang begitu agung cukup hanya berbekal niat menjauhi zina? Kalau demikian, kedudukan institusi nikah menjadi sangat sempit; sekedar ticket hubungan sexual!


Fakta empirik menunjukkan bahwa mayoritas mahasiswa secara material masih mempunyai ketergantungan yang kuat pada orang tuanya. Jadi cukup logis kalau ada hipotesis yang menyatakan bahwa memasuki jenjang pernikahan semasa kuliah hanya akan menambah beban orang tua, juga hak dan kewajiban suami-isteri yang merupakan konsekuensi logis dari akad nikah tidak akan terlaksana secara sempurna.

Saat dikedepankan, hipotesis ini sering dibantah dengan pernyataan bahwa yang memberi dan mengatur rizki itu Allah swt., bukan manusia, kalau kita menikah dengan niat karena Allah pasti Allah akan memberikan rizki-Nya! Seraya mengutip ayat yang berbunyi, “Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu ... Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas pemberiannya dan Maha Mengetahui.” (Q.S. An-Nuur 24:32)

Keyakinan bahwa Allah sebagai pengatur dan pemberi rizki memang benar, bahkan ada ayat yang lebih tegas lagi, “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rizkinya...” (Q.S. Huud 11:6). Masalahnya, apakah rizki itu akan datang begitu saja tanpa usaha? Bukankah seekor semut pun saat akan mengisi perutnya harus berusaha keluar dari sarangnya?

Jadi, firman Allah dalam Q.S. An-Nuur 24:32 harus difahami secara holistik, tidak parsial dan sporadis. Ayat ini jangan dijadikan landasan untuk berbuat nekad, tapi justru harus disikapi dengan penuh perhitungan, artinya kalau secara material belum mampu, jangan dipaksakan hanya dengan berbekal keyakinan bahwa Allah swt. pemberi rizki.

Bersikap realistislah, kalau memang kita masih punya ketergantungan material kepada orang tua yang cukup kuat, alangkah bijaksana kalau pernikahan itu ditangguhkan dulu dengan tetap menjaga kesucian diri (menghindari dosa). Hal ini bisa dibaca pada ayat berikutnya “Dan orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga kesucian dirinya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. (Q.S. Annur 24:34)

Dalam riwayat Imam Muslim, Rasulullah saw. pernah menasihati orang-orang yang belum menikah. Sabdanya, “Wahai pemuda! Siapa di antara kamu yang sudah mencapai ba'ah (mampu menikah), maka menikahlah karena itu akan lebih menjaga mata dan kehormatanmu. Dan siapa yang belum mampu, maka shaumlah karena shaum merupakan benteng (dari perbuatan zina).”

Hadits ini mengisyaratkan bahwa Rasulullah saw. menyarankan kepada orang yang sudah mampu agar segera menikah, sementara kepada yang belum mampu Rasul memberi jalan keluar untuk menangguhkan pernikahan yaitu dengan melaksanakan Shaum, karena shhaum merupakan benteng. Ungkapan ini merupakan isyarat bahwa kita diperbolehkan menangguhkan pernikahan untuk lebih mematangkan persiapan.

Oleh karena itu, para ahli fiqih mendudukkan hukum pernikahan pada empat hukum,
(1) Wajib menikah bagi orang yang sudah punya calon isteri atau suami dan mampu secara fisik, psikis, dan material, serta memiliki dorongan seksual yang tinggi sehingga dikhawatirkan kalau pernikahan itu ditangguhkan akan menjerumuskannya pada zina.
(2) Sunnah (thatawwu') menikah bagi orang yang sudah punya calon isteri atau suami dan sudah mampu secara fisik, psikis, dan material, namun masih bisa menahan diri dari perbuatan zina.
(3) Makruh (tidak dianjurkan) menikah bagi orang yang sudah punya calon isteri atau suami, namun belum mampu secara fisik, psikis, atau material. Karenanya, harus dicari jalan keluar untuk menghindarkan diri dari zina, misalnya dengan shaum dan lebih meningkatkan taqarrub diri kepada Allah dengan ibadah-ibadah lainnya.
(4) Haram menikah bagi mereka yang seandainya menikah akan merugikan pasangannya serta tidak menjadi kemashlahatan (kebaikan).

Kedudukan hukum yang beragam ini mengisyaratkan bahwa hukum pernikahan itu sangat kondisional. Oleh karena itu, sebelum memasuki pernikahan, kita harus mempertimbangkan kondisi yang akan dihadapi alias berpikir secara matang, jangan menyederhanakan masalah.
Kalau kita masih berstatus mahasiswa, untuk kehidupan keseharian masih mengandalkan wesel dari orang tua sebesar Rp. 150.000 per bulan, kuliah baru semester empat, IPK di bawah 2,5, dst.

Maka alangkah bijaksana kalau menangguhkan dulu pernikahan sambil mendewasakan diri, dan carilah jalan keluar yang positif. Belajar yang sungguh-sungguh agar cepat selesai kuliah, cepat bekerja, cepat dewasa, dan bisa mandiri (dalam terminolgi hadits disebut al-ba'ah).
Dengan cara seperti ini, Insya Allah bahtera rumah tangga bisa dijalani dengan persiapan yang matang. Suatu aksioma menyatakan, sesuatu yang dihadapi dengan persiapan matang hasilnya akan lebih baik dibandingkan dengan tanpa persiapan.

Wallahu A'lam Bishawab

Danos tu comentario

follow me